PEMERINTAH - Bayangkan sebuah negeri yang kaya raya. Hutan lebatnya menyimpan ribuan spesies, tanahnya subur, lautnya luas dengan ikan yang berlimpah. Namun, di balik semua itu, rakyatnya justru terpuruk. Mereka, yang menjadi saksi sejarah atas kekayaan alamnya, hanya bisa mengelus dada sambil bertanya, “Untuk siapa semua ini?”
Mari kita mulai dari hutan yang menumpuk. Kayu-kayu berharga itu dijarah, dibabat tanpa ampun, lalu diangkut ke negara-negara asing. Sebagai gantinya, rakyat hanya kebagian bencana, banjir, longsor, dan udara yang kian panas. Ekonomi rakyat? Jangan ditanya. Pedagang kecil harus berjibaku melawan kenaikan harga bahan pokok sementara pajak terus merangkak naik. Pajak, katanya, untuk pembangunan. Tapi yang tampak, jalan-jalan kini berbayar, sementara jalan desa penuh lubang seperti jebakan tikus.
Lalu soal pendidikan dan kesehatan. Dua hal yang katanya adalah hak dasar rakyat. Tapi di negeri ini, keduanya mahal tak terkira. Anak-anak pintar di pelosok hanya bisa bermimpi masuk universitas, karena biaya pendaftaran saja sudah setinggi langit. Berobat? Jangan harap tanpa kantong tebal. Rumah sakit memang ada, tapi rasanya lebih seperti hotel berbintang untuk orang kaya.
Pertanian? Tak terurus. Petani bingung harus menanam apa karena pupuk mahal dan hasil panen dihargai rendah. Padahal, mereka adalah tulang punggung negeri ini. Kelautan? Lebih parah lagi. Nelayan kita hanya bisa mengarungi lautan dengan perahu reyot, sementara kapal-kapal besar milik asing dengan leluasa menguras ikan dari laut kita.
Dan lihatlah lingkungan hidup kita. Hutan rusak, udara kotor, sungai dipenuhi limbah industri. Sementara itu, tambang-tambang ilegal menggali tanpa aturan, meninggalkan lubang-lubang raksasa yang menganga seperti luka di bumi. Siapa yang untung? Asing dan swasta besar. Rakyat kecil hanya menatap nanar, berharap keajaiban.
Gaji buruh? Rendah tak masuk akal. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, namun tetap saja hidup pas-pasan. Lucunya, hukum di negeri ini tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Buruh salah sedikit dihukum berat, sementara pengusaha besar yang melanggar aturan hanya ditegur—jika itu pun terjadi. Dan jangan lupa soal pungli. Di mana-mana ada tangan-tangan nakal yang meminta “uang pelicin, ” dari level RT hingga gedung kementerian.
Kekayaan alam? Semua dikuasai asing dan swasta. Gas, minyak, emas, dan batu bara kita mengalir deras ke luar negeri, sementara rakyat hanya kebagian polusi dan kerusakan lingkungan. Sumber daya yang seharusnya menjadi berkat bagi bangsa malah berubah menjadi kutukan.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat hanya bisa bertanya-tanya: “Di mana pemerintah? Di mana mereka yang seharusnya membela kami?” Namun sayangnya, pertanyaan itu sering kali tenggelam di antara hiruk pikuk politik, sidang parlemen, dan proyek-proyek yang katanya untuk rakyat, tapi rakyat tak pernah tahu manfaatnya.
Ironisnya, negeri ini sebenarnya bisa berubah. Indonesia punya segalanya untuk menjadi negara maju, tapi tampaknya kita terlalu sibuk memperkaya segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terus bergelut dengan penderitaan.
Namun, apakah kita hanya akan diam? Tidak. Negeri ini milik kita semua. Saatnya bangkit, bersatu, dan menuntut perubahan. Jangan biarkan Indonesia, negeri yang begitu kaya, hanya menjadi mimpi indah bagi segelintir orang, sementara rakyatnya hidup dalam mimpi buruk.