SAMARINDA - Konsep pemindahan ibukota bukan hanya memindahkan secara fisik, tetapi juga mengedepankan konsep pemerataan pembangunan secara menyeluruh dan merekatkan konsepsi negara kesatuan. Tujuannya untuk menghilangkan kesenjangan antar masyarakat di Indonesia sehingga perlu dikonstruksi pembangunan yang bersifat Indonesia-sentris.Demikian disampaikan Muhammad Sarip, di kantornya di Samarinda, beberapa waktu lalu.
"Dibentuknya konsep Indonesia Sentris, tidak terlepas dari pengalaman di masa lampau ketika ibu kota Indonesia saat ini “Jakarta”, merupakan kelanjutan atau warisan dari zaman kolonial. Lebih spesifik merupakan warisan dari VOC dan Hindia Belanda yang memusatkan pemerintahan di daerah yang dulunya bernama Sunda Kelapa. Karena pada tahun 1945 saat Indonesia kali pertama terbentuk, masih mengalami berbagai macam masalah yang lebih mendesak, maka pada saat itu diputuskan untuk melanjutkan birokrasi ibu kota dari zaman kolonial, " ungkapnya.
Menurut keterangan Sarip, setelah mendapatkan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda dan juga negara-negara di forum internasional pada tahun 1949. Kemudian selang tujuh tahun presiden Soekarno berpikir untuk membangun ibukota yang baru, yang lepas dari bayang-bayang kolonialisme, oleh karena itu beliau akhirnya mencetuskan ide untuk menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota baru.
“Pada waktu itu belum ada konsep Indonesia-sentris dalam konteks pembangunan infrastruktur. Yang ditonjolkan yang penting anti Belanda/Kolonialisme. Cuma pada waktu itu ide pemindahan ibu kota tidak terlaksana karena masih banyak pergolakan politik seperti isu Demokrasi Terpimpin, Komando Dwikora, Ganyang Malaysia, Ganyang Nekolim dan sebagainya, sehingga ide membangun ibu kota tenggelam. Sempat muncul kembali wacana pemindahan ibu kota negara pada zaman orde baru, yang digagas oleh Presiden Soeharto pada tahun 1997, tetapi akhirnya tetap sama ide tersebut tidak sempat direalisasikan. Begitu juga saat periode Presiden SBY, ” jelas Sarip.
Baca juga:
Demo Mahasiswa di Kota Cirebon Sempet Ricuh
|
Lanjutnya, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari kalangan masyarakat merasa bahwa pembangunan di Indonesia ini hanya berfokus di Jakarta dan Jawa saja. Kemudian ditambah pada zaman orde baru semua keuntungan hasil alam di seluruh wilayah Indonesia, disedot dan dipergunakan sebanyak-banyaknya hanya di Jakarta dan Jawa sehingga menyebabkan kesenjangan sosial yang sangat besar antara pusat dan daerah lain makanya muncul istilah Jawa Sentris.
“Pihak pemerintah dan elemen masyarakat harus menyadari, meskipun pemindahan ibu kota ke Kalimantan, jangan sampai konsepnya jadi sentral kalimantan karena hal tersebut akan mengulangi kesalahan yang sama. Karena jika seperti itu Sumatera juga bisa meminta hal yang sama, Sulawesi dan daerah-daerah lain juga sama, punya hak untuk dijadikan sebagai ibu kota negara”, tutur Sarip.
Lanjut Sarip, menjelaskan kalau dicermati UU IKN dan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah, ibu kota itu sebenarnya dalam UU tidak ada kalimat atau ada frasa yang menyatakan ibu kota di Kalimantan Timur. Ibu kota itu namanya Nusantara sebagai daerah khusus tersendiri, bukan lagi bagian dari Kaltim. Namun, karena faktor kedekatan geografis maka Kaltim menjadi penyangganya.
“Jadi, dengan visi politik untuk mempersatukan Indonesia, makanya dibuat konsep Indonesia-sentris. Ketika istana negara sudah berdiri dan difungsikan agar 7 prasasti yupa yang masih disimpan di Museum Nasional Jakarta, bisa diangkut ke Ibu Kota Nusantara karena 7 batu bertulis aksara Pallawa berbahasa Sanskerta tersebut merupakan bukti tonggak awal sejarah peradaban Nusantara. Sebagaimana pelajaran sejak SD, sejarah awal atau titik nol dimulainya masa sejarah Nusantara adalah saat dibuatnya tulisan yang diukit di prasasti yupa. Prasasti yupa ditemukan di Muara Kaman, tanah Kutai pada 1879, dan segera diangkut ke Batavia untuk penelitian. Sekarang penelitian tentang aksara dan inskripsinya sudah tuntas dan telah diketahui apa yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, seiring dengan momentum pemindahan Ibu Kota Nnusantara, sebaiknya simbol awal peradaban Nusantara itu dibawa kembali ke bumi tempat kemunculannya yaitu tanah di timur Kalimantan, " tutupnya.